Oleh: Iftitah Suryanagara
CEO and Founder Romeo Strategic Consulting; Alumnus US Army Command and General Staff College, Fort Leavenworth, AS
Artikel opini telah dipublikasikan di Harian Kompas
———–
Opini – Indonesia siaga. Ketika Indonesia tengah bergulat dengan persoalan pandemi Covid-19 dan dampak ekonominya, eskalasi situasi keamanan di kawasan meningkat.
Di utara, dominasi China di Laut China Selatan (LCS) kian kuat. Tanpa izin Indonesia, enam kapal perang China, melintasi laut Natuna Utara pada 13 September 2021. Di selatan, Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morisson bersama Presiden AS dan PM Inggris mengumumkan pakta pertahanan AUKUS (Australia, United Kingdom, United States) pada 15 September 2021.
Pengumuman ini membangkitkan memori masa Perang Dingin. Sebab, bersatunya ketiga negara itu diyakini sebagai wujud perimbangan terhadap kekuatan China di kawasan Indo-Pasifik. Melalui AUKUS, Australia dapat membangun kapal selam bertenaga nuklir, teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), teknologi kuantum, dan juga siber.
Di sisi lain, China mengecam aliansi itu sebagai ”ancaman tidak bertanggung jawab”. China juga menuding AUKUS mencederai komitmen zona bebas nuklir di Pasifik Selatan. Reaksi ini menunjukkan terganggunya Beijing, yang pada satu dekade terakhir menguasai kawasan.
Pola aliansi
Pakta AUKUS berbeda dengan ANZUS (Australia, New Zealand, United States), yang lahir pasca-Perang Dunia (PD) II. Namun, keduanya memiliki pola serupa. Australia menjadi elemen proksi kekuatan Barat, untuk menghadapi ancaman hegemoni dari timur. Morgenthau (1948) menyebutnya sebagai balance of power.
Kehadiran AUKUS tentu akan berimplikasi signifikan terhadap perebutan sumber energi baru di kawasan. Menguatnya tren industri otomotif bertenaga listrik butuh komoditas nikel dan lithium sebagai bahan baku baterai. Dengan stok nikel terbesar di dunia, Indonesia jelas diperebutkan.
Ada yang menuding, nikel dijual murah ke China dan Indonesia terlalu berpihak pada tenaga kerja asing (TKA). Merespons tudingan itu, pemerintah telah merancang pembangunan pabrik baterai listrik dengan China dan Korsel. Nilai investasi Rp 296 triliun.