Indoissue.com – Dugaan keterlibatan Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Azis Syamsuddin dan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam perkara suap Wali Kota Tanjung Balai, M Syahrial dan eks penyidik KPK Robin Pattuju, menunjukkan adanya indikasi permainan mafia peradilan di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Indikasi tersebut dapat dengan jelas terlihat dari konstruksi perkara Syahrial dan Robin, serta putusan Dewan Pengawas (Dewas) KPK terhadap Lili. Demikian dikatakan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus.
Menurut Petrus, kasus Syahrial dan Robin yang menyeret nama Azis Syamsuddin serta Lili, terdapat unsur permufakatan jahat untuk merintangi penyidikan di KPK. Bahkan menunjukkan Azis memiliki pion pada level penyidik, yakni Robin.
“Terlihat betapa Azis Syamsuddin menguasai beberapa oknum di KPK, sehingga Azis dengan mudah melakukan permufakatan jahat dengan Robin Pattuju dan M Syahrial serta Lili Pintauli untuk menghalangi penyidikan beberapa kasus korupsi di KPK,” beber Petrus.
Pada kasus-kasus tersebut, Petrus menilai ketidakfokusan KPK unsur permufakatan jahat praktik mafia hukum ini.
Sebab, Azis serta Lili tidak ditindak tegas walaupun dalam konstruksi kasus suap Robin dan putusan Dewas KPK atas Lili, menunjukkan jalannya praktik mafia peradilan yang menunjukkan keterlibatan mereka, yang harus diamputasi oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
Dari jalannya proses hukum atas perkara suapa Wali Kota Tanjung Balai dan Pintauli, Petrus meyakini, Azis Syamsuddin memiliki peran sentral dalam kasus suap penyidik KPK ini.
Sebab, Azis memfasilitasi pertemuan Syahrial dengan Robin sehingga terjadi suap pengurusan perkara namun statusnya masih sebatas saksi.
“Diduga telah terjadi permufakatan jahat untuk korupsi, suap, merintangi penyidikan kasus di KPK, dalam pertemuan itu. Bahkan terjadi tindak pidana secara berbarengan (samenloop),” ungkap Petrus.
Petrus bilang, sudah seharusnya Syahrial dan Robin dijerat dengan pasal berlapis, yaitu permufakatan jahat (Pasal 15 UU Tipikor), memberi/menerima suap (Pasal 5-14 UU Tipikor) dan bertemu pihak yang berperkara (Pasal 36 UU KPK Jo Pasal 55 KUHP).