Indoissue.com – Uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait alih status menjadi pegawai negeri sipil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan seluruhnya permohonan uji materi yang diajukan KPK Watch Indonesia.
Namun yang menarik, usai pembatalan uji materi tersebut, empat hakim MK menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion) terkait uji materi UU tersebut, dengan berpendapat bahwa perubahan status pegawai KPK menjadi ASN merupakan peralihan status, bukan seleksi calon pegawai baru.
Pendapat berbeda dari keempat hakim MK tersebut datang dari hakim Saldi Isrra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih.
Artinya, empat hakim tersebut setuju jika putusan MK sebelumnya, yaitu putusan MK tidak boleh merugikan pegawai KPK.
Menurut Saldi Isra saat membacakan alasan berbeda (concurring opinion) saat sidang, perubahan status tersebut harus dipandang sebagai sesuatu peralihan status, bukan seleksi calon pegawai baru.
Ia beralasan, jika diletakkan dalam konstruksi Pasal 69B dan Pasal 69C UU KPK, maka proses peralihan tersebut harus dilakukan terlebih dahulu.
Setelah penyelidik, penyidik dan pegawai KPK mendapat status ASN, KPK dapat melakukan berbagai bentuk tes terkait penempatan dalam struktur organisasi sesuai desain baru KPK.
“Posisi hukum kami, karena peralihan status tersebut sebagai hak, peralihan dilaksanakan terlebih dahulu dan setelah dipenuhinya hak tersebut baru dapat diikuti dengan penyelesaian masalah lain. Termasuk kemungkinan melakukan promosi dan demosi sebagai pegawai ASN di KPK,” kata Saldi.
Pendapat Peneliti
Lantas, apa makna di balik pendapat empat hakim yang berpendapat berbeda dengan hakim MK sebelumnya?
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM,) Zaenur Rohman, Rabu (1/9/2021) kemarin berpendapat, alasan yang berbeda ini memperlihatkan bahwa ternyata memang ada hakim MK yang bersifat obyektif, bahwa alih status bukan merupakan seleksi baru sehingga tidak diperlukan seleksi baru.