Potensi Otoritarian Amandemen Kelima

0
83

Oleh Muchamad Ali Safa’at
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang

GAGASAN penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode kembali mengemuka di saat pandemi Covid-19 belum usai. Gagasan tersebut sebetulnya telah beberapa kali dilontarkan dan sudah pula mendapatkan penolakan publik serta kritisisme dari berbagai kalangan. Namun, kemunculannya kembali kali ini dapat dikatakan selangkah lebih maju dan patut diwaspadai secara serius dengan mengingat empat hal.

Pertama, masa jabatan tiga periode tidak lagi sebatas wacana, tapi telah diperjuangkan oleh beberapa kelompok masyarakat. Termasuk pembentukan organ Jokpro yang mengusung paket Jokowi-Prabowo sebagai pasangan capres dan cawapres pada Pemilu 2024. Kedua, pengusung Jokpro adalah salah satu dedengkot lembaga survei kaliber nasional. Semua tentu mafhum, lembaga survei tidak hanya memiliki keahlian merekam, tetapi juga kemampuan memengaruhi dan mengarahkan opini serta persepsi publik.

Ketiga, pada saat bersamaan, MPR gencar mengarusutamakan gagasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai metamorfosis gagasan menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Argumen keberlanjutan agenda pembangunan yang mengalasi gagasan PPHN menemukan simbiosis dengan gagasan penambahan periode masa jabatan presiden. Jika Orde Baru menjadi referensi model pembangunan berkesinambungan, sesungguhnya faktor yang lebih dominan bukan keberadaan GBHN, melainkan kelanggengan kekuasaan Presiden Soeharto. PPHN akan berdaya guna jika berkesesuaian dengan lama waktu presiden menjabat.

Keempat, dari arah lain disodorkan gagasan mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR, bukan secara langsung oleh rakyat. Gagasan itu, menurut salah satu perumus perubahan UUD 1945 Lukman Hakim Saifuddin, telah dikunyah-kunyah habis saat pembahasan perubahan UUD 1945 pada 1999–2002.

Penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, pemilihan oleh MPR, dan kewenangan MPR menetapkan PPHN merupakan gagasan mundur jika dilihat dari perspektif demokrasi konstitusional. Gagasan tersebut hanya mungkin direalisasikan melalui perubahan UUD 1945. Maka agenda perubahan kelima UUD 1945 patut diwaspadai akan mengakibatkan kemunduran demokrasi konstitusional.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini