Merupakan salah satu tokoh militer Indonesia. Sarwo Edhie Wibowo memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan pemberotakan 30 September.
Sebelum menjadi Komandan RPKAD (Kepala Staf Resimen Pasukan Komando) yang sekarang disebut Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada tahun 1964 sampai 1967, ia pernah menjabat sebagai Komandan Batalion di Divisi Diponegoro pada tahun 1945 sampai 1951; Komandan Resimen Divisi Diponegoro pada tahun 1951 sampai 1953; dan pernah menjabat sebagai Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional pada tahun 1959 sampai 1961.
Pada saat pemberontakan itulah Sarwo Edhie Wibowo bertanggung jawab dan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menumpas para simpatisan PKI di Indonesia. Dengan berbekal pengalaman menjabat dan mempimpin pasukan, ia sanggup melaksanakan tugas tersebut dengan baik.
Selain itu, Sarwo Edhie Wibowo juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan pada masa jabatan Mei 1973 sampai dengan Mei 1978.
Semasa kecilnya, dirinya tinggal di Purworejo, sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Sarwo Edhie Wibowo aktif dalam berinteraksi baik dengan orang-orang bangsawan hingga anak-anak pribumi dan pandai berlatih dan pandai bermain silat untuk membentengi diri dari serangan-serangan musuh.
Semasa remaja ia kagum dengan pasukan militer Jepang yang sanggup menumpas penjajah sekutu.
Lalu bergabunglah dia dan belajarlah dengan pasukan PETA (Pembela Tanah Air) yang akhirnya bertansformasi menjadi pasukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang menjadi cikal bakal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang sekarang bertransformasi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kemudian, Ahmad Yani sebagai sahabat Sarwo Edhie Wibowo, mengajaknya ke Magelang untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan sebuah Batalion Angkatan Darat (AD) di Magelang, Jawa Tengah.
Langkah-langkah militer serta karakter yang dimiliki ternyata terus menurun sampai kepada salah satu cucunya, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono atau biasa disebut AHY.