IndoIssue – Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memberikan pidato politik dalam rangka HUT 50 Tahun CSIS. Dalam pidatonya, AHY banyak mengkritik pemerintah, mulai dari demokrasi hingga fenomena buzzer.
Menanggapi hal itu, Akademisi dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura Sulfikar Amir menilai, kritik yang dilakukan AHY dalam pidatonya adalah hal wajar.
“Sangat-sangat menarik. Mas AHY menyentuh beberapa isu krusial seperti pandemi, kualitas demokrasi yang menurun, efek disrupsi hingga buzzer,” kata Sulfikar, dalam keterangan tertulis, Rabu (25/8).
Lebih lanjut, Associate Professor of Science, Technology and Society ini melanjutkan, akan menarik jika soal resiliensi ini bisa diperkuat melalui peran-peran institusi karena domainnya Demokrat sebagai partai politik.
“Dalam gambar besarnya, resiliensi mencakup bagaimana kita berpolitik, bagaimana demokrasi disusun, bagaimana proses pembuatan kebijakan dilakukan, bagaimana partisipasi publik itu didorong dan lain-lain,” katanya.
Sementara itu, Pengamat politik Ubedilah Badrun dari UNJ melihat, pidato Ketum AHY ini cukup berbeda dengan pidato Ketum-ketum parpol lain sebelumnya.
“Sebagai partai non pemerintah, wajar jika pidato AHY ini bernada cukup tajam. Kalau tidak kritis, apa bedanya Demokrat dengan partai-partai koalisi pemerintah?” kata Ubedilah.
Secara khusus, salah satu mantan pemimpin gerakan mahasiswa tahun 1998 ini menyoroti bagian pidato AHY yang mempertanyakan mengapa kritik terhadap pemerintah selalu dianggap sebagai lawan.
“Betul kata mas AHY bahwa pada dasarnya kita ingin rakyat selamat. Itulah sebabnya berbagai elemen masyarakat sipil mengkritik dan memberi masukan,” kata Ubedillah.
Pidato AHY
Sebelumnya, AHY menutup rangkaian pidato para Ketua Umum partai politik dalam rangka 50 tahun CSIS. Tampil sebagai Ketua Umum termuda, AHY menekankan tentang perlunya memperkuat daya tahan dan daya saing bangsa untuk mencapai puncak kejayaan bangsa pada tahun 2045, 100 tahun setelah Indonesia merdeka.