Indoissue.com – Reformasi agraria dalam legalisasi aset dan distribusi tanah telah menjadi instrumen global untuk mempromosikan keadilan sosial dan mendorong pembangunan ekonomi. Tidak mengherankan, banyak pemerintah mengirimkan perwakilan mereka ke Konferensi Tanah Bank Dunia di Washington, DC pada hari Senin.
Indonesia, yang menghadiri konferensi tersebut sebagai perwakilan dari Asia, diundang sebagai pengakuan dan penghargaan atas pencapaiannya dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Indonesia membagikan pengalaman dan praktik terbaiknya dalam tata kelola tanah yang baik kepada para delegasi dari negara lain.
Program Indonesia ini mendasar karena tiga alasan utama.
Pertama, program ini memberikan kepastian hukum bagi pemilik tanah. Masalah agraria utama di Indonesia adalah kurangnya kepemilikan sertifikat tanah.
Dalam kebanyakan kasus, kepemilikan tanah bersifat turun-temurun. Selama beberapa dekade, bentuk kepemilikan de facto ini dianggap memadai oleh banyak masyarakat. Namun, pola pikir seperti ini telah menyebabkan sengketa dan konflik hukum. Tanah dapat diklaim oleh pihak lain kapan saja.
Untuk memberikan kepastian hukum, Presiden Joko “Jokowi” Widodo melaksanakan program pendaftaran tanah pada tahun 2017 untuk mendorong keadilan dan kesejahteraan bagi semua.
Kedua, pendaftaran tanah memberikan akses ke ekonomi. Indonesia memiliki lebih dari 65 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menyerap 97 persen tenaga kerja dan menyumbang 61 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) negara. Mereka adalah tulang punggung ekonomi nasional.
Namun, tantangan terbesar mereka adalah keterbatasan modal. Jika mereka memiliki sertifikat tanah, mereka dapat secara legal mengajukan pinjaman lunak dari sistem perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Pada akhirnya, ini dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi yang signifikan dan pertumbuhan.
Ketiga, pendaftaran tanah juga memberikan perlindungan hukum dari perampok tanah, yang lebih dikenal di Indonesia sebagai “mafia tanah”. Tahun lalu, satuan tugas pemerintah yang bertanggung jawab atas penanganan perampasan tanah berhasil mencegah lebih dari 800 juta dolar AS dalam potensi kerugian dari kejahatan terkait tanah.
Namun, banyak pemilik tanah yang masih enggan untuk mendaftarkan tanah mereka. Mereka tidak ingin repot dengan birokrasi administratif dan khawatir tentang kewajiban membayar pajak.
Oleh karena itu, pemerintah harus terlebih dahulu mengubah pola pikir masyarakat. Orang-orang harus memahami dengan jelas manfaat memiliki sertifikat tanah, serta risiko tidak memilikinya.
Hasil dari program ini cukup luar biasa. Pada tahun 2017, hanya 46 juta bidang tanah yang telah terdaftar. Saat ini, pemerintah telah mendaftarkan 112 juta bidang tanah dari target 126 juta. Selama tujuh tahun terakhir, telah terjadi peningkatan hampir 250 persen. Oleh karena itu, kami optimis bahwa pada tahun 2025, kami dapat mencapai target kami.
Ada tiga faktor kunci untuk mencapai keberhasilan dalam pendaftaran tanah.
Pertama, kepemimpinan dan manajemen. Ini semua tentang kepemimpinan transformasional yang mampu menerjemahkan visi menjadi strategi dan strategi menjadi tindakan dengan memanfaatkan semua sumber daya nasional. Hal ini sangat penting mengingat ukuran dan kompleksitas negara secara politik, sosial, dan ekonomi.
Sejak awal program, Presiden Jokowi telah menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk membangun koordinasi yang sukses di antara berbagai kementerian dan pemerintah daerah untuk mempercepat program ini. Komitmen pemerintah pusat kemudian menginspirasi pemerintah daerah untuk ikut serta dan memberikan insentif seperti pembebasan pajak pendaftaran pertama. Kerjasama dan dukungan yang baik dari Dewan Perwakilan Rakyat juga menghasilkan instrumen regulasi dan alokasi anggaran yang baik.
Kedua, partisipasi dan kolaborasi masyarakat. Karena jumlah surveyor tanah yang terbatas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang telah melibatkan sektor swasta, yang memenuhi standar profesional pemerintah, untuk melakukan survei tanah berskala besar. Pengumpulan data tanah dicapai melalui partisipasi masyarakat dari bawah ke atas (bottom-up) bekerja sama dengan kepala desa dan pemimpin lokal.
Beberapa komunitas yang mempraktikkan hukum adat masih enggan untuk mengesahkan tanah adat mereka karena takut kehilangan hak atas tanah mereka kepada negara. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah bekerja keras untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dengan menghormati kearifan lokal dan budaya di berbagai provinsi seperti Sumatera Barat, Papua, dan daerah lainnya.
Ketiga, pendekatan adaptif terhadap tantangan dan peluang baru. Pemerintah saat ini fokus pada transformasi digital di semua aspek birokrasi, termasuk penerapan sertifikat tanah elektronik. Prosesnya akan lebih cepat, lebih efisien, lebih transparan, dan lebih aman bagi semua orang.
Pemerintah menargetkan 104 kabupaten dan kota untuk menerapkan layanan sertifikasi elektroniknya pada akhir tahun 2024. Untuk mencapai target tersebut, program pelatihan telah ditingkatkan untuk para pejabat yang bertanggung jawab atas sistem pendaftaran elektronik.
Akhirnya, sejalan dengan aksi iklim, pemerintah saat ini sedang meninjau dan memperbaiki peraturan tanah dan tata ruang untuk memungkinkan pelaksanaan perdagangan karbon yang efektif. Inisiatif semacam itu tidak hanya akan mengatasi krisis iklim, tetapi juga membawa manfaat ekonomi bagi semua pihak yang terlibat.
Lapangan kerja akan tercipta dan peluang baru akan terbuka, dan ini akan berkontribusi pada terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan adil.